Hutang luar negeri yang dilakukan selama 1950-1988 telah menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara penghutang terbesar dan sebagai salah satu
negara yang sangat tergantung pada hutang luar negeri. Pada akhir tahun 1988
hutang sejumlah US 52,8 milyar merupakan lebih dari setengah Produk Nasional
Bruto dan hampir dua kali lipat nilai ekspor barang dan jasa. Tujuh puluh
persen dari jumlah itu adalah hutang pemerintah yang berjangka menengah dan
panjang. Pinjaman baru pemerintah menyumbang 30% terhadap total pengeluaran
pemerintah dalam tahun anggaran 1988/89.
Selama kurun
waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia mengalami beberapa
perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah telah bergeser dari
ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari pemerintah negara asing
(official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta yang
mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan pembayaran hutang luar
negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi perekonomian Indonesia
semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami kesulitan
mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan puluhan menimbulkan
antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan itu di masa depan.
Kenaikan tingkat bunga uang dipasar internasional dan resesi dunia yang menekan
turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan mempengaruhi kemampuan
Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga tahun setelahnya.
Kemudian dilanjutkan dengan krisis moneter melanda Thailand, pada tahun 1997 dimana pemerintah Indonesia juga sejumlah pakar ekonomi berkeyakinan bahwa krisis moneter Thailand tidak akan berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Keyakinan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat ini dibangun atas dasar indikator-indikator ekonomi makro. Argumentasi yang disungguhkan pemerintah dan para pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan laju inflasi yang terkendali, dibawah dua digit. Akan tetapi selang waktu yang tidak terlalu lama setelah krisis moneter Thailand, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial yang kemudian mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah panas. Pada gelombang ke dua krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis moneter, kepercayaan dan krisis sosial sehingga timbullah krisis ekonomi yang makin lama makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious circle, (Basalim et Al.2000).
Kini ketika beberapa negara lain yang juga terkena krisis ekonomi termasuk Thailand, sudah bangkit kembali perekomiannya, Indonesia masih juga terpuruk-puruk dalam kondisi ketidakpastian mengenai masa depan pembangunan ekonominya.
Kemudian dilanjutkan dengan krisis moneter melanda Thailand, pada tahun 1997 dimana pemerintah Indonesia juga sejumlah pakar ekonomi berkeyakinan bahwa krisis moneter Thailand tidak akan berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Keyakinan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat ini dibangun atas dasar indikator-indikator ekonomi makro. Argumentasi yang disungguhkan pemerintah dan para pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan laju inflasi yang terkendali, dibawah dua digit. Akan tetapi selang waktu yang tidak terlalu lama setelah krisis moneter Thailand, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial yang kemudian mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah panas. Pada gelombang ke dua krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis moneter, kepercayaan dan krisis sosial sehingga timbullah krisis ekonomi yang makin lama makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious circle, (Basalim et Al.2000).
Kini ketika beberapa negara lain yang juga terkena krisis ekonomi termasuk Thailand, sudah bangkit kembali perekomiannya, Indonesia masih juga terpuruk-puruk dalam kondisi ketidakpastian mengenai masa depan pembangunan ekonominya.
Selasa, 12 Nopember 2013
Analisis :
Analisis :
Untuk
menyikapi beberapa pertanyaan diatas tentu sangat perlu mengkaji dari hasil
hasil penelitian lebih lanjut keterkaitan hutang luar negeri terhadap variabel
makroekonomi yaitu investasi asing yang berdampak terhadap pendapatan nasional Indonesia.
Dari hasil penelitian Arif dan Sasono (1984) dalam periode 1970-1977 bahwa
hutang luar negeri bersama dengan investasi asing langsung berpengaruh negatif
dan hutang luar negeri ternyata juga terus menerus mengalami penurunan
kemampuan dalam membiayai impor barang dan jasa. Kemampuan impor ini yang
diukur dengan membandingkan nilai hutang luar negeri bersih dengan nilai impor
barang dan jasa telah turun sebesar 24% untuk priode 1970/1971 den menjadi 7%
tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia terpaksa harus melakukan pinjaman baru
untuk membiayai surplus impor sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan
menggunakan metodologi yang dikembangkan Dornbusch (1985) dan Click (1986)
sebab-sebab kenaikan stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari
aspek domestik dan aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang
dunia. Aspek domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan
kelebihan pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan
pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah
untuk membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan
sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta.
Sedangkan dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri
adalah kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian
defisit neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti
arus modal masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk
cadangan devisa atau membiayai pelarian modal keluar
0 comments:
Post a Comment