Tulisan 12 - Dibalik Tingkat Kenaikan Pengangguran
Kondisi ketenagakerjaan pada bulan Agustus tahun ini
memburuk. Hal ini terkonfirmasi dari statistik ketenagakerjaan yang dirilis
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin lalu (6 November). BPS melaporkan, tingkat
pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen atau
mengalami peningkatan sebesar 0,11 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada
Agustus tahun lalu.
TPT menunjukkan persentase angkatan kerja yang sama
sekali tidak bekerja. Sementara angkatan kerja adalah penduduk berumur 15 tahun
ke atas yang aktif secara ekonomi (economically active) untuk
memperoleh—atau membantu memperoleh—pendapatan. Jadi, TPT sebesar 6,25 persen
bermakna bahwa sekitar 6 dari setiap 100 angkatan kerja pada Agustus 2013 sama
sekali tidak bekerja.
Pada Agustus 2013, jumlah angkatan kerja diperkirakan
mencapai 118,2 juta orang. Dengan demikian, jumlah penganggur mencapai
7,39 juta orang. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 0,15 juta orang
bila dibandingkan dengan kondisi pada Agustus 2012.
Sebetulnya, kenaikan tingkat pengangguran pada Agustus
2013 mengkonfirmasi rendahnya kualitas ketenagakerjaan di negeri ini. Secara
faktual, meski TPT cukup rendah, sebagian besar angkatan yang kerja yang
bekerja sebetulnya bergelut di sektor informal. Pada Agustus 2013, misalnya,
sekitar 62 persen angkatan yang kerja yang bekerja “mengais nasi” di sektor
informal. Sebagaimana diketahui, para pekerja di sektor informal lebih
diasosiasikan dengan ketiadaan jaminan kerja (kontrak kerja dan perlindungan
sosial) dan pendapatan yang rendah.
Pada Agustus 2013, TPT mengalami lonjakan karena
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang memotret kondisi ketenagakerjaan
dihelat bersamaan denga bulan Suci Ramadhan. Pada bulan ini—terutama menjelang
dan beberapa hari setelah Idul Fitri, banyak pekerja di sektor informal yang
memutuskan berhenti bekerja untuk sementara waktu.
Dengan demikian, tantangan pemerintah dewasa ini
sebetulnya bukan hanya bagaimana menekan angka pengangguran serendah mungkin.
Yang juga tidak kalah penting adalah penyediaan lapangan pekerjaan yang
berkualitas bagi angkatan kerja. Apa gunanya TPT relatif rendah, namun pada
saat yang bersamaan sebagian besar angkatan kerja bergelut di sektor
informal.
Tidak usah heran bila banyak penduduk negeri ini yang
mengadu nasib sebagai TKI di negeri orang—meski di sektor informal. Ini adalah
konsekuensi dari ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan
berkualitas dengan pendapatan yang mencukupi bagi mereka di dalam negeri.
Sebagai bangsa tentu kita malu kala menyaksikan para
TKI kita terlunta-lunta dan dideportasi di negeri orang seperti yang sedang
ramai diberitakan oleh pelbagai media belakangan ini. Kondisi seperti ini sudah
sepatutnya tidak terus berulang. (*)
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/11/09/di-balik-kenaikan-tingkat-pengangguran-606495.html
Analisis :
Sebetulnya, kenaikan tingkat pengangguran pada Agustus
2013 mengkonfirmasi rendahnya kualitas ketenagakerjaan di negeri ini. Secara
faktual, meski TPT cukup rendah, sebagian besar angkatan yang kerja yang
bekerja sebetulnya bergelut di sektor informal. Pada Agustus 2013, misalnya,
sekitar 62 persen angkatan yang kerja yang bekerja “mengais nasi” di sektor
informal. Sebagaimana diketahui, para pekerja di sektor informal lebih
diasosiasikan dengan ketiadaan jaminan kerja (kontrak kerja dan perlindungan
sosial) dan pendapatan yang rendah.
0 comments:
Post a Comment