Tulisan 17 - Kado Pensiun Untuk Koruptor
Apa pun
dalihnya, memberikan pensiun kepada tujuh
bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
terbukti korupsi jelas melawan akal sehat. Mereka tak
layak menerima uang pensiun sepeser pun. Kendati
mereka telah bekerja untuk negara, jasa mereka tak
sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi
yang mereka lakukan.
Alasan DPR berkukuh tetap memberikan pensiun
sama tak masuk akalnya. Merujuk pada Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, Wakil Ketua Badan Kehormatan
Dewan Perwakilan Rakyat Siswono Yudo Husodo
menilai pemberian itu sah. Alasan mereka, "Sekecil
apa pun, mereka kan sudah bekerja." Lagi pula, para
koruptor itu mundur dari keanggotaan DPR sebelum
dipecat secara tidak hormat.
Argumen itu sangat melukai rasa keadilan publik.
Para koruptor itu, meski berada di hotel prodeo,
masih tetap menerima uang negara yang besarnya
bisa mencapai Rp 4 juta sampai Rp 8 juta per bulan,
tergantung masa tugas, selama dia masih hidup. M.
Nazaruddin, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA
Games, contohnya, meski sudah menggarong uang
negara miliaran rupiah, sampai sekarang masih
menikmati uang pensiun.
Memakai tameng undang-undang, Badan Kehormatan
DPR tampak ingin lepas tangan dalam persoalan ini.
Padahal, jika mau, mereka bisa memberhentikan
secara tidak hormat anggota DPR yang tersandung
kasus korupsi. Badan Kehormatan sudah bisa
menjatuhkan vonis dengan bukti-bukti pelanggaran
etik tanpa perlu menunggu persidangan usai. Cara
itulah yang ditempuh Majelis Etik Mahkamah
Konstitusi. Saat kasus suap Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar mulai terkuak, majelis ini
segera bersidang. Mereka menolak pengunduran diri
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan
memecatnya secara tidak hormat. Keputusan itu
dijatuhkan jauh sebelum kasus hukum Akil masuk
persidangan.
Badan Kehormatan DPR seharusnya melakukan cara
serupa, bukan tutup mata seperti sekarang. Khalayak
sangat kecewa melihat badan ini yang terkesan justru
ingin melindungi para koruptor tersebut. Badan
Kehormatan seperti sengaja mengulur waktu,
menunda rapat dengan menunggu sampai kasus
hukumnya inkracht. Proses ini biasanya memakan
waktu bertahun-tahun, dan saat itulah para anggota
DPR nakal itu "menyalip di tikungan": mereka mundur
agar tak bisa dipecat secara tidak hormat.
Akal-akalan seperti itu harus dihentikan. Badan
Kehormatan DPR seharusnya tak memanjakan para
koruptor. Masyarakat menunggu keberanian Badan
Kehormatan memecat para anggota DPR yang
terbukti melanggar kode etik secara fatal. Mereka tak
perlu menunggu keputusan hukumnya final.
Cara lain yang harus ditempuh DPR adalah
mengamendemen Undang-Undang No. 27/2009
tentang anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU
No.12/1980 tentang Hak Keuangan/Administratif
Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara
Sumber : www.tempo.co/read/opiniKT/2013/11/15/5792/Kado-Pensiun-untuk-Koruptori
bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
terbukti korupsi jelas melawan akal sehat. Mereka tak
layak menerima uang pensiun sepeser pun. Kendati
mereka telah bekerja untuk negara, jasa mereka tak
sebanding dengan kerugian negara akibat korupsi
yang mereka lakukan.
Alasan DPR berkukuh tetap memberikan pensiun
sama tak masuk akalnya. Merujuk pada Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, Wakil Ketua Badan Kehormatan
Dewan Perwakilan Rakyat Siswono Yudo Husodo
menilai pemberian itu sah. Alasan mereka, "Sekecil
apa pun, mereka kan sudah bekerja." Lagi pula, para
koruptor itu mundur dari keanggotaan DPR sebelum
dipecat secara tidak hormat.
Argumen itu sangat melukai rasa keadilan publik.
Para koruptor itu, meski berada di hotel prodeo,
masih tetap menerima uang negara yang besarnya
bisa mencapai Rp 4 juta sampai Rp 8 juta per bulan,
tergantung masa tugas, selama dia masih hidup. M.
Nazaruddin, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA
Games, contohnya, meski sudah menggarong uang
negara miliaran rupiah, sampai sekarang masih
menikmati uang pensiun.
Memakai tameng undang-undang, Badan Kehormatan
DPR tampak ingin lepas tangan dalam persoalan ini.
Padahal, jika mau, mereka bisa memberhentikan
secara tidak hormat anggota DPR yang tersandung
kasus korupsi. Badan Kehormatan sudah bisa
menjatuhkan vonis dengan bukti-bukti pelanggaran
etik tanpa perlu menunggu persidangan usai. Cara
itulah yang ditempuh Majelis Etik Mahkamah
Konstitusi. Saat kasus suap Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar mulai terkuak, majelis ini
segera bersidang. Mereka menolak pengunduran diri
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan
memecatnya secara tidak hormat. Keputusan itu
dijatuhkan jauh sebelum kasus hukum Akil masuk
persidangan.
Badan Kehormatan DPR seharusnya melakukan cara
serupa, bukan tutup mata seperti sekarang. Khalayak
sangat kecewa melihat badan ini yang terkesan justru
ingin melindungi para koruptor tersebut. Badan
Kehormatan seperti sengaja mengulur waktu,
menunda rapat dengan menunggu sampai kasus
hukumnya inkracht. Proses ini biasanya memakan
waktu bertahun-tahun, dan saat itulah para anggota
DPR nakal itu "menyalip di tikungan": mereka mundur
agar tak bisa dipecat secara tidak hormat.
Akal-akalan seperti itu harus dihentikan. Badan
Kehormatan DPR seharusnya tak memanjakan para
koruptor. Masyarakat menunggu keberanian Badan
Kehormatan memecat para anggota DPR yang
terbukti melanggar kode etik secara fatal. Mereka tak
perlu menunggu keputusan hukumnya final.
Cara lain yang harus ditempuh DPR adalah
mengamendemen Undang-Undang No. 27/2009
tentang anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU
No.12/1980 tentang Hak Keuangan/Administratif
Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara
Sumber : www.tempo.co/read/opiniKT/2013/11/15/5792/Kado-Pensiun-untuk-Koruptori
Analisis :
Dua undang-undang
itu mesti dilengkapi dengan pasal tentang mekanisme penghentian
pemberian pensiun bagi anggota lembaga tinggi negara yang terbukti melakukan tindak pidana seperti korupsi. Jika cara ini tak ditempuh, kasus pensiun M. Nazaruddin atau Akil Mochtar bisa terulang. Sungguh tak masuk akal bila negara memberikan kado pensiun
kepada para koruptor
pemberian pensiun bagi anggota lembaga tinggi negara yang terbukti melakukan tindak pidana seperti korupsi. Jika cara ini tak ditempuh, kasus pensiun M. Nazaruddin atau Akil Mochtar bisa terulang. Sungguh tak masuk akal bila negara memberikan kado pensiun
kepada para koruptor
0 comments:
Post a Comment